Rizal Ramli: Indonesia Butuh Pemimpin TransformatifEDUKASI – Predictability is dead. You can’t predict the future, but you can be ready for whatever it brings.
Seperti itulah KH. Salahuddin Wahid mengutip pernyataan Warren Bennis, yang menolak ramalan masa depan perekonomian suatu bangsa. Dalam ramalan yang berkembang, Indonesia bakal berubah dari negara agraria menjadi negara industri.
Salahuddin Wahid menjadi salah satu narasumber dalam Dialog Ekonomi Nasional “Grand Desain Manajemen Pembangunan Ekonomi Indonesia”, di Hotel Bandung Permai, Selasa (4/3).
Narasumber lainnya yang ikut meramaikan acara ini adalah Jendral Ryamizard Riyacudu, mantan Kasad dan Rizal Ramli, pengamat ekonomi nasional.
“Perekonomian bukanlah sesuatu yang eksak dan mudah diramal. Ramalan itu hanya perkiraan yang menunjukkan arah dan capaian yang akan kita raih,” tambah pria yang akrab dipanggil gus Sholah ini.
Sebagai contoh, gus Sholah mengamati kehidupan para petani di Indonesia. Menurut catatannya, petani harus membeli benih jagung/padi hibrida seharga Rp. 30.000–Rp. 40.000 per Kg. Tetapi saat panen, hasil produksi petani dijual dengan harga Rp. 2.000 per Kg.
Melihat kondisi yang tidak adil ini, Rizal Ramli mengibaratkan nasib petani Indonesia seperti ayam yang mati di lumbung padi. Menurutnya, pemerintah perlu merubah paradigma perekonomian yang berkembang.
“Paradigma membangun pertani-an perlu dirubah menjadi membangun petani,” tandas pria kelahiran Padang, 10 Desember 1957 ini.
Mendiskusikan perekonomian, tidak terlepas dari beberapa bidang yang terkait. Pendidikan, pertahanan keamanan, dan ketegasan peme-rintah yang sedang berjalan juga sangat berpengaruh.
Di dunia pendidikan, Rizal Ramli melontarkan kritikan pedas terhadap pihak-pihak yang mengelola lembaga pendidikan layaknya mengelola usaha perindustrian. “Saat ini, di pintu masuk kampus-kampus seakan tertulis anak miskin dilarang sekolah,” tambah Ramli.
Sementara itu, gus Sholah, yang erat dengan dunia pesantren. Mengeluhkan ketidakadilan pemerintah dalam mengayomi pesantren, yang merupakan salah satu lembaga pendidikan di tanah air.
Baginya, anggaran yang dikucurkan pemerintah untuk lembaga pesantren tidak sebanding dengan biaya yang diterima lembaga-lembaga pendidikan formal.
Pemetaan bagaimana nasib Indonesia ke depan, begeser pada pembahasan ketegasan pemerintah pimpinan SBY-Kalla saat ini. Ketiga narasumber, Rizal Ramli, gus Sholah, dan Riyacudu, kompak memberikan angka merah pada rapor pemerintah.
Rizal Ramli, yang pernah menjabat sebagai menteri perekonomian, menyesal-kan sikap pemerintah yang terlalu mudah disetir pihak asing. Menurut alumni Boston University ini, Salah faktor kenapa bangsa Indonesia ketinggalan, adalah kebijakan ekonomi kita yang diatur luar negeri.
Sebagai contoh, Word Bank pernah bersedia memberikan pinjaman kepada Indonesia sebesar USD 300.000.000, asalkan pemerintah membuat perundang-undangan migas.
“Ironisnya, dalam salah satu pasal undang-undang pesanan luar negeri itu berbunyi, bahwa Indonesia hanya boleh menggunakan 25% dari total produksi, sisanya, 75% harus diekspor,” tambah Ramli.
Sebagai solusi atas banyaknya per-soalan yang mendera bangsa, Ramli menyampaiakan jika bangsa ini perlu pemimpin yang transformatif. Pemimpin masa depan dituntut mampu memanfaatkan pluralitas masyarakat Indoneisa.
Di sisi lain, Ryamizard Riyacudu berpedoman jika orang yang akan meminpin bangsa ini harus bisa memanfaatkan segala potensi yang dimiliki Indonesia. Diantaranya, potensi Indonesia yang terletak di jalur perdagangan dunia. (E-1)
No comments:
Post a Comment