EDUKASI Headline Animator

Sunday, March 23, 2008

PUTRET BURAM TENAGA KERJA INDONESIA

EDUKASI – Kematian Leni Novita Vendy Jangky (22), tenaga kerja asal Sariono, Kecamatan Jombang, Jember, menambah panjang daftar hitam penempatan dan perlindungan tenaga kerja kita di luar negeri.

International Labour Organization (ILO) mencatat, setiap tahun lebih dari 400.000 orang Indonesia melakukan migrasi mencari kerja. Motivasi mereka adalah keinginan untuk memperoleh gaji yang lebih besar dan kesempatan yang lebih baik.

Secara keseluruhan, migrasi merupakan sebuah pengalaman yang produktif bagi sebagian besar orang Indonesia, tetapi bagi beberapa yang lain, tidak.

Meskipun terdapat standar-standar internasional untuk melindungi mereka, hak-hak asasi mereka sebagai pekerja kerap diremehkan. Kurangnya perlindungan mengakibatkan mereka menjadi bulan-bulanan mulai prakeberangkatan sampai pulang kembali ke tanah air.

Hak asasi manusia (HAM) mengacu pada hak-hak yang melekat pada seseorang karena ia adalah manusia. HAM tidak memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, latar belakang sosial dan lain sebagainya.

Sebagai manusia yang bekerja untuk mencari uang, para tenaga kerja Indonesia juga mempunyai hak-hak asasi pekerja migran. Hak-hak tersebut disediakan oleh negara-negara pengekspor dan pengimpor tenaga kerja.

Oleh karena itu, pemerintahan di kedua belah pihak bertanggung jawab memberikan, dan melindungi hak-hak para pekerja migran.

Dalam Deklrarasi Philadelphia, 1994, yang dikeluarkan ILO, berlaku beberapa prinsip ketenagakerjaan. Pertama, pekerja bukan komoditas. Kedua, kebebasan berekspresi dan berserikat merupakan hal yang penting bagi kemajuan yang berkelanjutan. Ketiga, kemiskinan di mana-mana merupakan bahaya untuk kemak-muran.

Keempat, semua manusia, tanpa memandang ras, kepercayaan, atau jenis kelamin, memiliki hak untuk memperoleh kesejahteraan materua dan pembangunan spiritual mereka, dalam kondisi kebebasan dan bermartabat, kemanan ekonomi dan kesempatan yang setara.

Bagi masyarakat yang tinggal di daerah lumbung TKI, seperti Ambulu, Tempurejo dan Kencong, sulit mendapatkan informasi tentang hak-hak tenaga kerja migran.

Kondisi ini diperparah dengan menjamurnya calo-calo pencari pekerja yang ingin mengadu nasib di negeri orang. Gaji tinggi, pemberangkatan yang cepat dan pekerjaan yang tidak berat. Adalah tiga jurus andalah para calo yang beroperasi di desa-desa.

Padahal, belum ada jaminan jika calo-calo tadi dapat memberangkat dengan mekanisme yang legal. Jika yang terjadi sebaliknya, akibatnya cukup fatal.

TKI yang sudah berada di luar negeri, nyawanya sudah tidak ada harga. Dari laporan Gerakan BMI (Buruh Migran Indonesia) Jember, di Malaysia nyawa para TKI sudah tidak ada harganya.

Kondisi diperparah dengan sikap pemerintah yang terkesan tutup mata dan telinga. Atas nama perbaikan iklim investasi daerah, pemerintah kita risih dengan peraturan-peraturan yang bisa membuat investor kabur.

Akibatnya, sekarang tempat-tempat Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) berkembang seperti jamur di musim hujan. Parahnya lagi, dari sekian banyak PJTKI yang ada, tidak semuanya resmi. Data terakhir mennyebutkan, hanya ada dua PJTKI legal yang ada di Jember. (E-1)

No comments:

Jelajah