EDUKASI Headline Animator

Tuesday, April 8, 2008

Kegigihan Seorang Profesor

Muhammad Yunus, menerima Nobel Perdamaian atas jasanya mengentaskan kemiskinan di Dhaka, Bangladesh. Tahun 1976 ia mendirikan Grameen Bank, sebuah bank untuk kaum papa yang memberikan pinjaman tanpa jaminan. Foto: Bjoern Sigurdsoen/AFP/Getty Images

EDUKASI – Linangan air mata turut mewarnai penyerahan Nobel Perdamaian kepada Muhammad Yunus 2 tahun silam di Oslo, Norwegia.


Dhaka - Nobel perdamaian yang ia terima, merupakan buah dari usahanya dalam mengentaskan kemiskinan. Sebagai lulusan yang baru kembali dari sebuah universitas terkemuka di Amerika, sang profesor tentu saja berpikir bagaimana menerapkan subsidi atau intensif untuk menggerakkan perekonomian mereka.

Perjalanan Yunus memperbaiki perekonomian warga. Dimulai ketika ia bertemu dengan sorang wanita berusia 21 tahun, sedang membuat sebuah kursi bambu. Si wanita asal Jobra itu, bersandar pada dinding yang terbuat dari tanah untuk menyelesaikannya.

Yunus penasaran, berapa keuntungan yang bakal diperoleh wanita itu untuk sebuah kursi. Ternyata mengejutkan, laba yang diperoleh hanya dua cent. Di Dhaka, uang sebesar itu tidak seberapa untuk hidup sekeluarga, bahkan untuk seorang diri sekali pun.

Kalau untuk makan saja tidak cukup, bagaimaana untuk membeli pakaian, rumah, atau membayar uang sekolah untuk tiga anak yang menjadi tanggungannya?

Dalam bukunya Bank for the Poor, Yunus baru sadar jika mereka sebenarnya tidak membutuhkan modal dalam jumlah yang besar.

“Betapa malunya saya terhadap diri sendiri. Mereka telah terperangkap pada kemiskinan. Padahal, yang mereka perlukan tidak seberapa, dan saya sendiri mampu membantunya,” ujar Yunus.

Ujung pangkal permasalahan kemis-kinan yang melilit penduduk Jobra, terletak pada ketidakmampuan mereka memenuhi jaminan untuk mendapatkan pinjaman.

“Karena mereka tak punya jaminan, akibatnya akses ke dunia perbankan pun tertutup. Jadi wajar jika mereka menjadi sasaran empuk para tengkulak dan rentenir,” jelas alumnus Universitas Chittagong ini.

Hasil hitungan yang dihimpun timnya, wanita tadi hanya membutuhkan 22 cent. Begitu pula dengan yang lain, jumlah modal yang mereka butuhkan tidak jauh beda.

Setelah di data ada 42 orang yangmembuhkan bantuan modal, dengan akumulasi modal sebesar 856 taka, atau kurang dari US$27.

“Saya tidak memerlukan pemerintah untuk membantu menyediakan modal usaha mereka,” tambahnya.

Akhirnya, tahun 1976 Yunus mendirikan sebuah bank yang memberikan kredit tanpa jaminan. Bank itu bernama Grameen Bank ‘Bank for the Poor’.

Tanpa dinyana, ternyata kaum miskin merespon begitu positif. Mereka percaya jika inilah jalan yang sudah lama mereka tunggu. Para kaum papa merasa terbebaskan. Padahal, dulu pasar ini adalah garapan kaum rentenir.

Sampai tahun 2004, bank ini telah menyalurkan pinjaman mikro sebesar US$4,5 miliar, dengan recovery rate sebesar 99%. Lebih dari 3 juta orang telah menjadi nasabah.

Stephen Covey, dalam bukunya yang berjudul ‘The 8th habit’, mencatat Gramenn Bank telah beroperasi di lebih dari 46.000 desa di Bangladesh, dan memperkerjakan sekitar 12.000 karyawan.

Memasuki tahun 2004, Yunus membidik pengemis menjadi nasabah Gramenn Bank. Menurut dia, pengemis itu hidup miskin, tetapi sebenarnya mereka mau bekerja, yaitu mengemis.

“Sekarang tinggal bagaimana kita merubanya,” harap Yunus optimis tentang nasib rbuan pengemis yang hidup di trotoar-trotoar jalan.

Tidak disangka, dalam tempo 4 bulan, sudah 8.000 pengemis menjadi nasabahnya. Karena itulah, target di bulan April yang semula “hanya” 10.00 nasabah. Dikoreksi menjadi 25.000 nasabah pengemis. (E-1/sumber)

No comments:

Jelajah